Cakrawalaasia.news, Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menyelenggarakan Pembelajaran Daring Modul “Permohonan Kekayaan Intelektual (KI) dengan Mekanisme Internasional” sebagai bagian dari program Edukasi Kekayaan Intelektual Indonesia (EKII).
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas seluruh pegawai bidang pelayanan KI di 33 Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kanwil Kemenkum) secara daring pada Rabu, 19 November 2025.
Dalam sambutannya Kepala Subdirektorat Pemberdayaan dan Edukasi KI Aulia Andriani Giartono menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan pegawai dalam memberikan memberikan asistensi secara profesional kepada pemohon yang ingin mengajukan pelindungan KI di berbagai yurisdiksi internasional.
“Pelindungan KI bersifat teritorial, sehingga pemohon perlu memahami mekanisme internasional seperti Patent Cooperation Treaty (PCT), Madrid Protocol, dan The Hague Agreement. Di sinilah peran strategis rekan-rekan Kanwil Kemenkum untuk memastikan informasi yang diberikan kepada masyarakat benar, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ucap Aulia
Aulia juga berharap peningkatan kompetensi teknis akan memperkuat layanan publik DJKI. Menurutnya, dengan pemahaman yang baik mengenai sistem pelindungan KI internasional memungkinkan DJKI dalam membantu pelaku usaha dan inovator melangkah ke pasar global dengan lebih percaya diri.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Pengajar Bidang Studi Hukum Ekonomi dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ranggalawe Suryasaladin menjelaskan tantangan pelindungan KI internasional yang masih dihadapi pelaku usaha Indonesia, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ia menyoroti minimnya pemahaman mengenai urgensi mengajukan pelindungan KI sebelum melakukan ekspor.
“Banyak pelaku usaha yang belum menyadari risiko ketika memasarkan produk ke luar negeri tanpa pelindungan KI. Kekhawatiran atas biaya serta keterbatasan inovasi sering menjadi hambatan yang perlu dijawab dengan edukasi yang berkelanjutan,” ujar Ranggalawe.
Pada sesi paten, Ranggalawe memaparkan alur permohonan melalui PCT, termasuk persyaratan sebagaimana diatur Pasal 24 UU Paten 2016 mulai dari identitas inventor, pemohon, kuasa, sampai pengajuan hak prioritas (priority claim). Ia menjelaskan bahwa PCT terdiri dari international phase dan national phase, dan ketentuan nasional tetap menjadi dasar.
“PCT memberi efisiensi bagi pemohon yang ingin mengajukan pelindungan ke banyak negara, namun pemenuhan persyaratan administratif nasional tetap wajib. Ketelitian dalam proses ini sangat menentukan hasil akhir permohonan,” jelas Ranggalawe.
Sementara itu, pada bagian merek, Ranggalawe menyampaikan mekanisme pendaftaran merek melalui Madrid Protocol, mulai dari keharusan memiliki merek dasar, pengisian formulir MM2, verifikasi DJKI, pemeriksaan formalitas oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), hingga pemeriksaan substantif pada negara tujuan. Ia menegaskan bahwa setiap yurisdiksi memiliki peraturan berbeda, sehingga pemohon harus memahami strategi pelindungan merek yang tepat.
Materi tentang desain industri turut dijelaskan dengan menegaskan definisi, ruang lingkup, serta prinsip kebaruan (novelty) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Desain Industri. Ranggalawe menekankan, desain yang telah diungkap sebelumnya dapat kehilangan unsur kebaruan sehingga tidak lagi memenuhi syarat untuk memperoleh pelindungan.
Melalui kegiatan ini, DJKI menegaskan komitmennya untuk memperluas pemahaman mengenai pentingnya pelindungan KI internasional serta memperkuat kualitas layanan di seluruh Kantor Wilayah. Dengan meningkatnya kapasitas teknis petugas layanan, diharapkan semakin banyak karya, merek, dan inovasi Indonesia yang memperoleh pelindungan optimal di pasar global. (WKS/DAW)











